Wednesday, March 11, 2009

Doa

Diam-diam di sudut hati pendosa

Komat kamit membasahi ujung bibir

Sekelumit harap dan bujuk terselip mulus di lidahnya

Demi dapatkan kehendak yang dipinta

Malang, 301006

20.09 WIB

Gelap Tak Selalu Pekat

Dirasa berat jika kita orang-orang yang mudah menyerah

Dirasa enggan tuk bangkit jikalau kita mudah lelah tuk bertahan

Tapi kita kan kuat andainya tahu

Semua ketidak bahagiaan yang terjadi tak selalu berakhir suram

Dan adalah hal istimewa ketika Ia mulai mempercayai kita atas tantangan baru

Ia tahu kita bisa menghadapinya

Hanya tinggal cara kita menyusuri setiap lorong tuk menemukan jawabannya

Serta sebongkah keyakinan yang terselip dalam doa yang tulus

Bukankah Ia lebih suka ketika melihat makhlukNya bergantung utuh padaNya ?



Malang, 291006

22.45 WIB

Salam Dari Hembus Angin

Ada yang menyibak rambut halus di keningmu

Tepat ketika sekelebat senyum tersungging di bibirmu

Entah selalu ada aroma melati ketika kau datang

Seolah menyiratkan hadirmu sebentuk peredam penat

Oh iya,

Hembus angin yang membelai ujung rambutmu kemarin sempat berbisik

Ujung rambut indahmu mulai bersisik

Karna ia tak sengaja menelisik terlalu kuat di sela rambutmu

Malang, 291006

22.28 WIB

For Elvin

Tanya Pada Hatimu

Benarkah hidup tetap berarti jika dilewati dalam sepi ?

Mungkinkah bulan kan berpendar tanpa sinar surya ?

Sekiranyakah fetus terlahir dari hasil onani sel telur ?

Bukankah muasal manusia dari benih adam dan hawa yang suci

Dan sempurnanya pengabdian untukNya

Tak pelak melibatkan kesucian intim sepasang ma- khlukNya

Malang, 291006

22.05 WIB

For Dian Tyas

Untuk kawanku

"Tetap berkobar kawan”, kata seorang kawan padanya

Gelegak darah semangat tiba-tiba ikut memuncak di pembuluhnya

Bukan hanya semangat di ujung lidah

Kobarannya tak pelak membangkitkan hasrat tuk teruskan perjuangan

Bangkitnya bukan hanya tuk tunjukkan bajanya sebuah niat

Nyala yang menyatu inilah yang menghembuskan hawa kesadaran

Atas itikad eksistensinya di dunia ini

Malang, 261006

17.14 WIB

For Didix

Idealisme Tak Pernah Sepi

Pernahkah kau dengar teriakan gempita para demonstran ?

Hiruk pikuk meludahi pasungan mimpi indah

Semakin lantang ototnya meneriakkan “Hancurkan…!!!”

Perut-perut buncit makin lapar tuk memangsa segalanya

Bahkan ketika hampir putus uratnya tuk mempertahankan satu rupiah dalam sebutir nasi

Semakin gencar kebijakan-kebijakan sang penguasa untuk membanjiri negeri dengan sumbangan berbunga

Dan manusia-manusia yang busunglah penyaksi perihnya lambung mengaisi sisa makanan

Malang, 261006

16.40 WIB

For Aji

Sajak Sang Imam

Takbirlah bersamaku wahai makmum-makmumku

Ruku’lah bersamaku wahai pecinta ridhoNya

Sujudlah bersamaku wahai pendamba kemuliaan

Tapi jangan bersujud untukku

Ingatkanlahku ketika aku tak bertasyahud pada rakaat kedua

Ikutilah aku sebatas penunjuk jalan yang gelap

Aku bukanlah titisan Tuhan yang suci

Takbir…

Ruku’…

Dan sujudlah bersamaku….

Sebatas mendengar dan menjalankan kasihNya tuk manusia

Malang, 261006

13.35 WIB

For Dida

Simpul Mawar

Seraya terpekur kumengingat hari kemarin

Ketika namamu hanya sekelebat tak bermakna dalam pikirku

Tak pernah terpikir bahkan tuk sekedar bersahabat denganmu

Hanya sebatas kekagumanku saja yang sempat menyelinap

Entahlah…

Bagai sihir, seikat mawar mampu mengubah semuanya

Aku serasa memasuki dunia dongeng

Aku seorang putri dan engkau pangeran berkuda yang membawakan bunga keabadian untukku

Mungkin bunga mawar kan layu dalam hitungan hari

Namun wanginya masih tersimpul di hatiku

Dan di setiap waktuku wangi itu semakin lekat dan merasukiku



Malang, 251006

11.58 WIB

For Mas Dhista

Bait Puisi untuk Kekasihmu

Pernah kulihat goresan sanjungmu untuknya

Cobalah kau baca sekali lagi setiap baitnya

Bukan hanya rayu dan bujukmu yang nyata

Tapi juga ada sebongkah kasih yang resah

Ada hidup dalam setiap kata yang kau tuliskan

Meski kekasihmu tak menolehkan hatinya padamu

Dan entah mengapa puisimu tetap bisa bertahan hidup

Sementara kekasihmu tak lagi hidup kini

Malang, 181006

10.27 WIB

Suami Idaman

Bilakah hati ini resah menjalani hari

Tengoklah sesosok rupawan yang tak enggan berbagi senyum

Bukan lagi cumbu rayu penuh nafsu yang nampak

Ada usapan peluh untuk kita dan tatapan yang peduli

Jikalau pun ia mesti berjuang di tengah arus deras demi hidup

Ia tak kan enggan mendengarkan kita berbagi cerita

Bahkan jika mendapati tubuh kita tak semulus patung porselain

Senyumnya masihlah yang terindah untuk kita

Bukankah cinta itu berbagi,

Dan padanya tak kan pernah terlewatkan secuil kasih pun yang tak dibagi.

Malang, 171006

22.50 WIB

Antara Tuhan dan Papa

Sejak kecil Papaku mengajariku tentang Tuhan

Tuhan adalah Zat yang menciptakanku

Tuhan adalah Zat yang wajib disembah


Semua firmanNya merupakan kebenaran mutlak

Tak ada satu pun ayatNya yang boleh ditentang

Tak secuil sabda kekasihNya yang boleh ditawar

Kini usiaku sudah mulai beranjak dari kepolosanku

Tuhan yang kusembah masih sama seperti waktu kecilku

Tiap ayat yang kubaca masih sama seperti aku mengaji dulu

Bahkan Papaku tak segan mengajariku tentang Tuhan lagi

Namun ada yang janggal ketika aku membaca ayatNya

Tersirat seberkas petunjuk untuk lebih menjaga diriku

Dan kini ayat itu tak hanya kubaca seperti waktu kecil dulu

Perlahan kucoba memahaminya

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menjalankannya

Tuhan yang ada dalam hati dan pikiranku masihlah yang dulu

Tuhan ini masihlah yang selalu kudatangi tiap waktu

Kalau waktu kecil dulu mungkin aku hanya pengikut saja

Tapi kini tak hanya pengikut tapi seharusnya juga pelakon

Sedangkan Papaku masihlah tak enggan mengajariku tentang Tuhan

Sama seperti masa kecilku dulu baginya ayatNya wajib dijalankan

Namun ketika aku mengatakan untuk akan menjalankan ayatNya

Papaku berkata, “Apa kamu sudah mantap dengan ayat itu ?”


"Ayat itu bertujuan baik, tapi apakah dirimu siap menjalani ayat itu ? Coba dipikirkan lagi”

Aku pun memantapkan diri untuk menjalankan ayat itu

Tuhanku masih sama seperti yang pernah diajari Papaku waktu kecil

Dan aku pun masih percaya pada Tuhan dan Papaku

Namun saat kubertanya lagi pada Papaku,

“Bolehkah kulakoni ayatNya sekarang ?”

Papaku menjawab, “Apa kamu sudah mantap dengan ayat itu?”.

“Apa tidak lebih baik ditangguhkan dulu untuk ayat itu ?”.

Aku diantara Tuhan dan Papa

Tuhanku adalah Sang pengatur jalan hidupku dunia akhirat

Dan Papaku adalah Sang makhluk yang diberi amanah olehNya

Ada ayat ditengah tasbihku pada Tuhan

Juga ada nasehat ditengah hormatku pada Papa

Mungkinkah aku harus mengingkari yang pernah disampaikan Papa tentang Tuhan padaku ?

Mungkinkah Tuhan yang salah memfirmankan ayatNya ?

Atau mungkinkah aku yang terlalu naif memahami ayatNya yang telah kubaca bersama Papa ?

Dan aku berada diantara Tuhan dan Papa kini

Malang, 171006

22.44 WIB

Merekah amarah

Apa hendak dikata ketika waktu mulai tak bersahabat

Bukan sebuah nasehat kesabaran yang kuinginkan

Detik demi detik mencoba menghiburku

Namun bisik kalbu tak terpuaskan

Hatiku mulai getir mengeruh

Tak ada yang bisa menahanku

Meski ku tahu aku tak kan bisa menancapkan apapun

Namun bolehkan aku sedikit saja tusukkan duri pada apapun ?

Malang, 131006

21.06 WIB

Karna Hujan Sayapku Basah

Hujan mulai merajuk di lelahnya siang

Aku mencoba berhimpit-himpit diantara dedaunan

Semakin dingin hujan ini menderaku

Kurasa hanya aku yang merasa dingin

Aduh...

Sebelah sayapku mulai basah

Ada yang sengaja memercikkan air itu

Ahh...

Rupanya hujan tak mau menghiburku

Sekujur sayapku dibuatnya basah

Lunglai...

Dan aku pun kedinginan

Tepat ketika aku mulai belajar merentangkan sayapku


Malang, 2005

Gincu Merah Rama

Bibir merah bergincu masih kulekatkan

Wangi arum dalu tubuhku semerbak yang kutawarkan

Bunga nafasku tebaran pesona lirik jahil

Aku selalu rindu eksotisme rembulan di wajahmu

Pun setiap sentuhanmu yang lekat buaian malaikat

Dinda, duduklah menghangat di belahan dadaku

Karna ragamu titipan surya senja yang enggan menguliti alam

Konon cinta selalu menempati singgasana pualam yang licin

Jangankan berjingkat

Merentangkan sayap saja nafas ikut terhenti

Singgasana cinta kan utuh di balik rengkuh hidup sang Rama


Masih teringat nestapaku melihat cumbu Rahwana di langsatmu

Enggan kubayangkan indah purnamamu dijilati birahinya

Aku mulai muak dengan arum dalumu yang berbau Rahwana

Hingga tubuh mungil yang amis luruh dari rahim sucimu

Aku ini jiwa Rama yang berdegup melihat Sinta terkapar

Hendak kapan ku bisa robek kemaluan Rahwana yang cumbui elokmu

Aku tak seculas Rahwana perebut Sinta

Aku ini jiwa Rama yang ber-raga Sinta

Meski bukan keperkasaan wujudku

Gincu merahku kan selalu kecup dirimu kala letih

Walau dadaku tak sekokoh bakau

Belahan dadaku mampu mengalirkan kehangatan kasih tulus


Malang, 230906

07.29 WIB

Andai Engkau Tahu, Ma

Ma, aku mungkin belum membalas segenap cintamu

Sepanjang usiaku aku tak lebih menjadi benalu untukmu

Masih jelas kurasakan hangat tanganmu yang kucium

Dan tetap tak bisa kulupakan bau tubuhmu yang menenangkanku

Andai engkau tahu, Ma

Aku bersamanya bukan untuk menjauhimu

Justru inilah pengabdianku untukmu

Memang tak seperti yang kau harapkan

Namun, bersamanya aku tak kan menorehkan dosa untukmu lagi

Ma, percayalah cintamu tetap tak kan tergantikan

Dirimu tetaplah yang terbaik sepanjang hidupku

Beserta janji yang kau titipkan padaku,

Aku kan tetap mengabdi padamu meski ku bersamanya

Malang, 121006

21.16 WIB

Kalau Matahari Enggan Menyapa

Usia bumi tak lagi segesit jutaan tahun lalu

Coba lihatlah lapisannya yang mulai mengelupas

Tak bisa kubayangkan jika ia mesti mati

Mungkin bintang akan berguguran karena sedihnya

Bulan pun akan menelusup dalam pekat gelap

Dan kalau matahari pun sudah enggan menyapa kita

Mungkinkah kita masih yakin atas kekuatan kita sendiri ?

Malang, 121006

21.03 WIB

Mengaisi Kasih Tuhan

Entah ini sajak keberapa untukNya

Ada rayuku yang terselip di dalamnya

Meski ku tak pernah tahu

Benarkah Ia membaca sajakku ?

Mungkinkah titik-titik tinta ini menjadi hitunganNya

Bukankah dzikir merupakan sebuah ritual untukNya

Dan aku ingat,

Setiap aku menggoreskan bahasaku di ujung pena ini

Selalu ada namanya yang terkait di ingatanku

Aku mengingatNya dengan caraNya mengajakku menapaki hidup

Malang, 100906

21.28 WIB

Bintang Tak Boleh Lelah

Lirih kudendangkan lagu malam ini
Tak sadar kutengadahkan mataku ke langit
Kelam nan rupawan
Merona semu kelabu berbayang awan
Jikalau diriku masih tak lelah berharap
Mungkin tak hanya bintang yang terpaku bersama bulan
Diriku pun sesekali ingin menjadi penyaksi itu
Namun untuk menjadi bintang
Tak boleh lelah peluhku menetes
Meski entah kapan bintang kan berpihak padaku
Tapi ku bisa memulainya dari kerlip keringatku
Malang, 091006
21.09 WIB

Saturday, February 28, 2009

sebuah cerpen anak : Jangan Nangis Lagi ya, Put....

Setiba di sekolah, sudah banyak anak yang bergerombol di TK Bahagia. Sambil masih membawa tas ransel di punggung, Ajeng dan Puput bergegas. “Put…ayo cepat sebentar lagi perlombaannya dimulai lho. Cepat taruh dulu tasmu sana !!”, seru Sabrina dari balik gerombolan teman-temannya. “Iya.”, jawab Puput.

Sementara Puput dan Ajeng meletakkan tas, Bu Dina mulai memanggil nama

murid-murid satu per satu. Setelah memberikan sedikit penjelasan tentang peraturan lomba, terdengar koor panjang dari barisan anak-anak.

“Mengerti Buuu….”.

“Baik, giliran pertama yaitu Risa, Amdan, Vira, dan Aan. Bagi anak-anak yang belum dipanggil tetap berbaris rapi dan terus memberi semangat ya ?”, jelas Bu Luluk.

“Siaapp, satu …dua….tiga…”.

Priiit….peluit panjang dibunyikan tanda anak- anak mulai berlomba membawa

kelereng. Semua anak bersorak-sorak tak terkecuali para orang tua yang menunggu anak-anaknya di balik pagar sekolah pun ikut antusias memberikan dukungan. “Ayo….ayo…ayo…”, teriak para penonton. Tak lama kemudian terdengar koor panjang. “Horeee….”, rupanya pertandingan pertama ini dimenangkan oleh Vira dan semua penonton bersorak-sorak.

Dari balik barisan murid kelas A, Puput tampak antusias melihat perlombaan. Kali ini dia ingin memenangkan perlombaan. Sementara di barisan murid TK B juga tampak Ajeng yang bersemangat bersorak-sorak memberi dukungan teman-temannya yang berlomba.

Setelah beberapa menit perlombaan berlangsung, terdengar suara Bu Dina lantang, ” Untuk perlombaan terakhir, kita beri dukungan untuk Puput, Ajeng, Sabrina, dan Odet”. Kemudian, “Ayo….ayo…ayo….”, suara penonton mulai membahana lagi lebih kencang. Ini adalah kelompok terakhir yang bertanding sekaligus penentu kelas mana yang akan memenangkan perlombaan kelereng tahun ini.

Para peserta lomba tampak serius dengan kelerengnya masing-masing. Ajeng terus menguntit di belakang Puput sambil sesekali melirik lawannya itu. Sementara, lawan-lawannya yang lain tergopoh-gopoh dan hampir jatuh kelerengnya karena terburu ingin mencapai finish. Teriakan-teriakan penonton makin keras ketika hampir mendekati garis finish.

Ya…kurang sedikit lagi mereka akan melewati garis finish. Tapi…ups, kelereng Ajeng terjatuh tertabrak tubuh Odet yang sempat limbung. “Aduhh !!”, teriaknya kaget. Cepat-cepat ia mengambil kelerengnya yang jatuh dan berdiri sambil agak sedikit mempercepat langkahnya, berharap bisa membalas Odet. Dengan tubuhnya yang masih agak limbung ia mencari kaki Odet untuk diinjak. “Nah, itu dia kaki Odet. Sebentar lagi akan kuinjak biar dia jatuh”, gumamnya. Satu, dua, tiga dan…..”Adoouuww…..”, teriakan kencang dari arah peserta lomba. Tentu saja konsentrasi peserta yang lain ikut terpecah. Mereka saling lirik melihat apakah ada lagi lawan yang kelerengnya jatuh. Namun dengan tak acuhnya Ajeng tetap melenggang sampai garis finish. Sorak sorai penonton pun mengiringi langkahnya hingga mendekati garis finish.

Tiga….dua….satu……

“Horee….Ajeng menaaanggg…..”, teriak barisan kelas B. Para penonton ikut bertepuk tangan melihat akhir perlombaan yang menegangkan ini. “Baiklah anak-anak, perlombaan kelereng hari ini usai sudah. Hasil yang diperoleh untuk perlombaan kali dimenangkan oleh kelas B. Besok masih ada perlombaan lagi”, penjelasan Bu Luluk menenangkan hati anak-anak. “Bu, sekarang boleh pulang bu?”, tanya Nanda penuh semangat. “Iya, anak-anak sekarang masuk kelas dulu, ya. Ambil tasnya masing-masing, berdoa bersama-sama kemudian pulang. Jangan lupa besok masih tetap masuk seperti biasa dan masih ada perlombaan yang lebih menarik”.

Sementara anak-anak yang lain berebut ingin pulang, di sudut taman Puput meringis-ringis sendirian sambil memegangi kakinya. Melihat hal itu Ajeng pun berlari mendekati Puput. “Put, kamu kenapa duduk di situ sendirian? Nggak pulang?”, tanya Ajeng penasaran. “Uhuk ..uhuk..huuu..huu…huu.…”, tiba-tiba Puput menangis. “Kok nangis? Puput kenapa? kakinya sakit ya?”, tanya Ajeng sambil mengusap-usap bahu Puput. “Uhuk…iya. Kakiku sakit terinjak waktu ikut lomba kelereng tadi. Kakiku sakit tapi nggak berdarah”, jawabnya sambil meringis menahan sakit. “Terinjak waktu lomba?? Memangnya kamu tah yang pakai sepatu merah tadi?”, tanya Ajeng harap-harap cemas. Sempat tergambar di benak Ajeng kalau jangan-jangan dia tadi salah menginjak kaki Puput bukannya kaki Odet. “Sepatu merah tadi yang pakai Odet kan, bukan Puput?”, tegas Ajeng sekali lagi. “Iya, sepatu merah itu aku yang pakai. Tadi aku dan Odet bertukar sepatu, soalnya aku mau mencoba sepatu baru Odet... Memangnya kenapa?”, jawab Puput yang sudah reda tangisnya. “Oh nggak apa-apa. Ayo kita pulang sekarang. Nanti kita dicari mama”, ajak Ajeng buru-buru. “Ayo”.

Sewaktu pulang sama-sama dengan Puput, perasaan Ajeng mulai tak enak. Dia merasa bersalah karena ternyata tadi dia salah menginjak kaki Puput. Sebenarnya dia ingin minta maaf, tapi rasanya malu juga kalau Puput tahu siapa yang sudah membuat kakinya sakit tadi. Duh, kalau saja tadi Ajeng tak ingin melakukan balas dendam segala, pasti dia tak akan merasa bersalah seperti ini, sesalnya dalam hati. Apalagi saat mereka harus berpisah di jalan karena Puput sudah sampai di rumahnya lebih dulu, tak seperti biasanya Puput tak memberi salam maupun senyuman pada Ajeng. Wajah Puput masih tampak cemberut dan kelihatan menahan sakit di kakinya.

Sesampainya di rumah, Ajeng tampak loyo dan tak mau makan. Tentu saja Bunda mulai bertanya-tanya, “Ada apa gerangan anak Bunda kok tiba-tiba tak mau makan dan loyo seperti ini?”. , Ajeng hanya menjawab, “Ajeng males makan, Bunda. Ajeng mau tidur saja”. Ajeng pun langsung beranjak ke tempat tidurnya dan tertidur pulas.

Entah dari mana asalnya, Ajeng bertemu dengan Puput di rumahnya. Dengan masih memakai rok seragamnya, Puput menangis merintih-rintih kesakitan. Ajeng cuma bisa terdiam melihatnya menangis. “Ajeng, kamu tahu nggak siapa yang menginjak kakiku tadi?”. “Mmm…sebenarnya…sebenarnya....yang menginjak kakimu tadi aku, Put. Maafkan aku, ya Put. Aku benar-benar menyesal. Aku nggak akan mengulangi kesalahanku lagi”, sesal Ajeng. “Iya, aku maafkan”, jawab Puput sambil memeluk Ajeng. “Terima kasih Put, tapi kamu jangan menangis lagi ya, Put. Aku sedih lihat kamu menangis. Huuu…huu…huu…..”, tangis Ajeng makin kencang.

Kemudian, terdengar suara Bunda bergumam pelan, “Jeng… Ajeng… bangun... kenapa menangis? Ajeng….”. Mata Ajeng pun pelan-pelan terbuka, sambil sesekali mencari-cari Puput. Tapi, sekarang ia tak lagi sedang bersama Puput karena yang terlihat di sekelilingnya hanyalah kamarnya yang bercat putih dan Bunda yang sedang kebingungan menenangkan tangis Ajeng. Ohhh…ternyata Ajeng tadi cuma mimpi.

Meski hanya sekedar mimpi, tapi cukup melegakan hati Ajeng. Ajeng yakin Puput pasti mau memafkannya jika ia minta maaf daripada dia terus berbohong. Ia berjanji tak akan berbuat curang lagi. Besok pagi-pagi Ajeng akan minta maaf jika bertemu dengan Puput dan mengakui kesalahannya. Oh iya, tak lupa ia juga akan membagi hadiah kemenangannya dengan Puput sebagai tanda bahwa dia sayang pada temannya itu. “Jadi, nggak sabar rasanya menunggu waktu bertemu dengan Puput besok pagi”, gumamnya lirih.


Tuesday, January 27, 2009

sebuah cerpen : Jangan Lukai Tia

" Aku mimpi buruk lagi !! !", batin Sekar dengan kening berpeluh. Jam di hp-­nya masih menunjukkan jam 5 pagi. Perlahan-Iahan ia menggeser tubuhnya ke tepi tempat tidur. "Uhhh... .mengapa aku mimpi dia lagi ?? aku tak tega melihat wajahnya yang sepucat itu". lni sudah hari ke- 7 Sekar selalu dibangunkan oleh ‘jam weker otomatisnya'. Yah... sebuah mimpi. Mimpi yang membuat perasaanya campur aduk tak karuan.

Setelah beberapa saat ia termangu di tepi tempat tidur barulah ia mulai beranjak.

"Bunda, mungkin nanti Sekar pulangnya agak telat ada praktikum setelah kuliah".

"Iya...kamu kapan sih gak pulang telat. Tiap hari juga pulangnya malem terus“.

"Ihh.. .Bunda nyindirnya ngena banget", ucap Sekar sambil mukanya memerah.

"Wiihh... pagi-pagi udah ramai nih. Ayah boleh ikut gabung ?", ucap Ayah Sekar tiba-tiba mengagetkan.

Sekar sempat terlonjak kaget dan hampir saja sendok yang dipegangnya

jatuh. Seketika ia berdiri dari tempat duduknya dan berpamitan pada ibunya tanpa menghabiskan makanannya.

"Bunda, Sekar berangkat dulu", pamitnya sambil mencium tangan ibunya.

"Hati­-hati di jalan ya, Sekar ", jawab ibunya lembut.

"Ya, Bunda", jawabnya sambil ngeloyor pergi.

o0o

" Sekar kamu sudah selesai praktikumnya ?", tanya Ais teman sekelas

sekaligus sahabatnya.

"Udah. Puyeng nih kepalaku. Ternyata sulit banget yah jadi tester. Mana yang jadi testee-ku nggak bisa fokus sama pertanyaan yang aku beri. Tahu gitu, kapan-kapan aku cari testee yang cerdas aja biar langsung connect “, keluh Sekar.

" Duuhh Sekar segitunya. Kayak cuma kamu saja yang punya masalah. Sudah lupakan, bagaimana kalau kita makan-makan dulu sekarang ?", tawar Ais sambil menumpangkan tangannya di bahu Sekar.

"Makasih deh Is, tapi aku mau langsung pulang aja. Nggak enak sama Bunda tiap hari pulang malem terus".

"Oh ya sudah. Hati-hati di jalan ya, Nona Manis ", ucap Ais sambil mencubit pipi Sekar dan lari meninggalkan Sekar yang meringis kesakitan.

Sekar pun dengan sigap membereskan kertas-kertas laporannya dan bergegas menuruni tangga laboratorium. Hari ini ia berharap pulang lebih awal. Kasihan sama ibunya yang tiap hari kesepian. Pernah Sekar menawari ibunya untuk mencari pembantu, tapi yah... wanita segigih ibunya pasti akan menolak dengan alasan lebih baik uangnya untuk kuliah Sekar aja. Sekar sampai tak habis pikir, ibunya itu dibuat Tuhan dari apa ya ? Kok bisa sebaja itu sosoknya.

Sesampainya di jalan rumahnya Sekar pun menyempatkan diri untuk berhenti di sebuah sungai kecil yang ditumbuhi bunga bakung dan ini bukan kali

pertama ia menyendiri di tempat itu. Memandangi aliran sungai itu, ia serasa memasuki dunia lain. Dunia yang selalu berkutat di pikirannya. Dunia yang mengerikan tapi juga sering membuatnya rindu.

" Kak...boleh aku duduk di sini ?", tiba-tiba seorang gadis kecil menepuk pundaknya. Refleks, Sekar pun menoleh. Dilihatnya gadis kedl itu, matanya benar­-benar cantik, pikir Sekar. Dan rambut yang dikepang dua membuat ia tampak lebih manis. Mengingatkan ia pada seseorang.

"Kaakk... ", ucap gadis kecil itu menyadarkan Sekar.

"Oh...eh...iya , boleh-boleh sini duduk dekat kakak ", jawab Sekar terbata-bata.

"Adik... namanya siapa?", tanya Sekar sambil mengulurkan tangannya.

"Tia ". Deg, jantung Sekar hampir berhenti mendengar ia menyebut namanya.

"Kakak kenapa ? ", tanya gadis kecil itu heran melihat perubahan mimik

wajah Sekar.

"Eh nggak, nggak apa-apa. Kok Tia ke sini sendirian, mamanya dimana ?", tanya Sekar sambil mengamati sosok mungil di sampingnya.

"Mama Tia lagi di tumah sendirian. Tiap hari Tia juga ke sini sama seperti Kakak".

Hahh...darimana gadis kecil ini tahu kalau Sekar hampir setiap hari ke sini ?!, batin Sekar tak percaya. Ah mungkin runiahnya dekat sini."Mmm...Tia rumahnya di dekat sini ?". "Iya Kak, tuh di gang pojok situ"; jawabnya sambil menunjuk ke arah rumahnya.

Tak berselang lama pembicaraan di antara mereka pun mulai mengalir. Tia

temyata tidak seperti anak kecil kebanyakan. Ia bahkan tahu apa-apa yang sedang

dirasakan Sekar. Kadang Sekar tersenyum geli melihat tingkah laku Tia. Seorang,.

gadis kecil tapi juga teman curhat yang lucu. Yah... gaya celoteh anak kecil yang

polos begitulah kiranya sosok Tia di mata Sekar.

Dan....

Hari ini Tia pulang malam lagi. Padahal rencananya hari ini ia mau menemani ibunya di rumah. Duhh...gawat nih. Dengan berjingkat-jingkat ia melewati teras rumahnya. Kemudian ia mengintip ruang tamu. Ah...sepi , untunglah. Dibukanya pintu itu perlahan-lahan dan ..

."Ehem..ehem ". Suara berdehem Ayah Sekar !!.

Mati aku !, batinnya.

"Dari mana saja Sekar sampai selarut ini ?! ", tanya Ayah Sekar.di kursi pojok yang rnemangg hampir tak terlihat.

"Dari kampus ", jawab Sekar singkat.

"Dari kampus, kok sampai malam begini ?!", tanya Ayahnya sekali lagi.

"Ada praktikum. Tadi sudah ijin sama Bunda".

"Lain kali kalau memang sampai malam telepon ke rumah saja. Mungkin Ayah bisa jemput kamu ".

"Makasih", jawab Sekar dan pergi tanpa menoleh sedikit pun.

. Menyusuri ruang tengah, tak dilihatnya ibunya. Dapur, kamar mandi, ruang makan, dan teras belakang, pun demikian. Pikirannya mulai kacau, Hahh...jangan-jangan Bunda...!. Tangannya mulai gemetar dan keringat tiba-tiba saja mengalir dari pelipisnya. Seperti orang kesetanan Sekar membuka semua pintu di rumahnya. Dari satu ruang ke ruang satunya dan dengan tatapan mata yang 'ngeri'. Setelah semua pintu ruangan ia buka dan tak ditemukan ibunya, tinggal satu pintu yang belum ia buka. Sebuah gudang kecil di belakang.

Hampir mati rasanya ketika Sekar hendak memutar pegangan pintu gudang. Bayangan kengerian yang akan ia lihat begitu nyata berada di depan matanya. Klek . Sudah.…pintunya sudah bisa dibuka. Namun yang dilihat di dalamnya hanya gelap. Perlahan-lahan ia mulai membuka pintu itu lebar-lebar. Tiba-tiba tatapan matanya tertuju pada bayangan yang sedang meringkuk di pojok gudang.

"Haaahhh ….Bundaaa……", teriak Sekar sekencang-kencangnya dan menabrakkan tubuhnya ke arah bayangan itu tadi. Kontan Bundanya langsung menoleh kaget dan hampir. terjatuh menyangga beratnya tubuh Sekar.

"Bu...Bu….Bun...da...nggak apa-apa??!!”, tanya Sekar gemetar sambil bercucuran air matanya. Dilihatnya tangan Bunda bersimbah darah.

"Sekar...kamu kenapa Nak?", tanya ibunya sambil memeluk Sekar.

"Bunda nggak apa-apa. Ini tadi Bunda lagi nyari oven buat bikin kue besok, trus gak sengaja tergores. Luka ini kan hanya luka kecil.", ucap ibunya menenangkan.

Sekar mulai mengamati ibunya pelan-pelan. Benar! Bunda baik-baik saja, batinnya. Tiba-tiba saja Ayahnya sudah muncul di depan pintu gudang. Emosi Sekar pun kembali meluap. Dilepaskannya pelukan ibunya dan ia berusaha pergi dari gudang itu cepat-cepat. Hampir-hampir ia menabrak tubuh Ayahnya yang masih keheranan melihat mereka berdua. Diabaikannya pangilan-panggilan ibunya. Namun di ujung ruangan Sekar tampak berhenti dan hendak memeluk sesuatu .

"Makasih ya Tia mau dateng menenangkan Kakak ", ucapnya sambil membungkuk memeluk Tia. Dari kejauhan ibunya memandang aneh ke arah Sekar. Apa yang sedang dilakukannya ? Ah mungkin hanya pandanganku saja yang agak samar, batinnya. Kemudian ia keluar dari gudang dibantu Ayah Sekar.

o0o

Semenjak kejadian malam itu tingkah laku Sekar berubah. Pagi hari tak pernah ia sentuh masakan ibunya. Ia hanya melirik sebentar ke arah meja makan, kemudian langsung berpamitan dan pergi.

"Sekar, kamu nggak sarapan dulu ?", Tanya Bundanya dengan pandangan cemas. "Nggak Bunda. Sekar masih kenyang", jawabnya sambil mengecup tangan ibunya dan kemudian pergi.

Badan Sekar makin kurus saja tiap hari dan tak terawat. Sudah berkali-kali ibunya mengingatkan untuk lebih merapikan penampilannya, tapi tak sekalipun Sekar menggubrisnya. Ia hanya mengiyakan dan tak ada respon setelah itu. Karena ibunya penasaran dengan perubahan Sekar, ia pun mencoba untuk masuk ke dalam kamar Sekar. Dan melihat apa saja yang biasa Sekar lakukan kalau sedang mengurung diri di kamarnya.

Klek. Dibukanya pintu kamar Sekar perlahan-lahan. Hhh.. .kamar itu begitu gelap dan pengap. Kertas-kertas berserakan dimana-mana, boneka-boneka yang digantung tepat di atas tembok tempat tidumya, dan tempelan-tempelan di dinding serta kaca. Ibunya harmpir tak percaya. Sekar bukan orang yang biasa berantakan. Ibunya masih ingat ketika ada bekas makanan tercecer di lantai kamamya dan ia hampir seharian membersihkan seluruh ruangan kamarnya. Namun ada yang mencolok dari semua gambar-gambar yang ditempel di dinding kamarnya. Sebuah foto besar Ayah Sekar yang wajahnya di sana-sini sudah dicorat-coret. Dan sebuah pisau kecil menancap tepat di keningnya. Ada apa denganmu, Sekar ??!, batin ibunya sambil tangannya mengelus dada dan menatap nanar seisi ruangan.

o0o

Kuliah hari ini tentang psikologi kerpibadian. Bu Helen, dosen killer, yang terkenal suka 'menyantap' mahasiswanya sudah dari pagi tadi bercuap-cuap di depan kelas. Tak ada satu pun mahasiswa yang tak menunjukkan muka keseriusan, kecuali Sekar. Ia duduk di bangku pojok paling belakang dengan pandangan matanya kosong menatap keluar jendela. Sambil sesekali ia tersenyum dan seperti sedang berbicara dengan seseorang sambil berbisik-bisik. Tak ada yang menyadarinya kecuali Ais. Sebagai sahabat Sekar mulai dari SMA, Ais banyak tahu apa saja kebiasaan-kebiasaan Sekar. Dan beberapa bulan terakhir ini, Sekar berubah total. Tak terdengar lagi celoteh riang Sekar, gerak ketika ia berada di organisasinya dan sanggahan ­- sanggahan ia untuk para dosen.

"Tia..akhir-akhir ini aku merasa kesepian. Jangan pemah tinggalin Sekar sendirian ya?". "Iya Kak. Tia nggak akan pemah tinggalin Kakak, Cuma Tia takut sama Ayah Kak Sekar ...", jawab Tia. "Aku pasti akan melindungimu dari 'orang gila' itu. Tak akan kubiarkan ia rnenyentuh seujung jari Tia sekalipun !. Tia jangan takut ya, Kita tunggu waktu yang tepat untuk menyingkirkannya". Ais yang duduk tepat di sampingnya benar-benar merasa semakin iba pada sahabatnya itu .

"Ehm... Sekar, boleh aku tanya sesuatu padamu ?", tanya Ais

setengah berbisik.

"Kamu mau tanya apa ?", jawabnya.

"Akhir-akhir ini aku melihat sikapmu mulai berubah. Apa kamu baik-baik saja ?", tanya Ais hati-hati.

"Aku baik­-baik saja.Apalagi bersama teman baruku. Mau kukenalkan dengannya?".

"Boleh. Kapan aku bisa menemuinya ?" tanya Ais penasaran.

"Tuh dia sekarang ada di dekat jendela sedang melihat kita".

Spontan Ais memalingkan padangannya ke luar jendela. Kosong. Tak ada sesuatu pun yang dilihatnya. Ia mencoba menjulur-julurkan kepalanya sekali lagi mencoba untuk meyakinkan dirinya. Iya. Di luar jendela itu benat-benar kosong, tak ada seorang pun.


"Emm...Sekar, apakah temanmu itu benar-benar ada di luar jendela ? Aku tak melihat apa pun di situ".

" Iya ia masih berada di situ. Seorang gadis kecil bermata indah dengan

Rambut yang dikepang dua. Lihatlah dia sedang melambai pada kita!!”, jawabnya riang.

Sekali lagi Ais mendongakkan kepalanya keluar. Dan... .kosong !!

"Apa kau sudah melihatnya ??", tanya Sekar penuh harap sekali lagi

"Aku belum melihatnya Sekar ", jawab Ais sambil tetap penasaran

"Oh.. .sayang sekali ia baru saja lari mengejar kupu-kupu yang sedari tadi

bertengger di jendela ", tukas Sekar tenang

" Yahh…mungkin lain kali aku bisa berkenalan dengannya ", Ais kecewa

o0o

" Tia mau kemana ?", tanya Sekar pada Tia yang hendak keluar dari kamarnya.

"Tia mau ke belakang sebentar. Boleh ya, Kak ?! ", rajuk Tia manja.

" Kakak temenin ya.Nanti takut ketahuan orang rumah kalau Tia ada di sini ".

"Nggak deh, Tia berani kok keluar sendiri".

"Ya sudah. Hati-hati ya ", pesan Sekar sambil mengelus kepalanya

Sementara Tia keluar, Sekar mulai mencorat-coret lagi gambar besar yang ada di kamamya. Kini dengan tinta merah. Gambar itu hampir tak berbentuk lagi. Namun Sekar masih saja mencoreng-corengnya sambil mendesis-desis. "Kau tak akan pernah aku maafkan!!". Tiba-tiba saja bayangan gelap masa lalunya muncul. Suara tangis dan teriakan kesakitan menggema di telinganya. Kak...Kak Sekar ... Tolonggg III.

"Ah... suara itu muncul lagi", pekik Sekar sambil mendekapkan kedua tangannya di telinga. Jelas terlihat bayangan tubuh mungil menggelepar terlempar ke dinding. Jerit itu makin keras. Kak Sekar...tolonggggg!!!!. Sekar pun semakin mendekapkan kedua tangannya. Kini yang terlihat adalah wama merah. Rintihan karena sakit yang mencekik berubah menjadi lautan merah yang membasahi dinding. Sekar hampir kaku melihat bayangan-bayang yang berkelebat di kepalanya itu. Ketika yang terdengar hanya suara nafas yang terengah-engah dan terlihat darah yang mengucur diantara matanya yang melotot padanya. "Aaaarrrgggggghhh…!!!", teriak Sekar. Pintu pun terbuka. Sekar tersadar dan cepat ia melihat siapa yang dating ke kamarnya. Tia. Tia datang dengan pakaian penuh darah dan lunglai.

"Tiiiiaaaa..siapa yang melakukannya ?!!", tanyanya dengan mata tajam.

"Ayah Kak Sekar".

Tak didengarkan lagi kata selanjutnya dari Tia. Sekar secepatnya berlari menyambar pisau kecil yang ada di dinding. Dan ia keluar kamar mencari ayahnya. Tampak terlihat ayahnya sedang bersama ibunya di teras belakang. Dengan segala kemarahan yang hampir meledak, ia acungkan pisau itu tepat ke muka ayahnya.

"Apa yang kau lakukan pada Tia ??! !", teriak Sekar kesetanan

"Apa maksudmu ? Tia ? Tia siapa ?”, tanya Ayah Sekar pucat pasi. Sementara ibunya hanya bisa terbelalak melihat Sekar.

"Arghh…jangan pura-pura. Kau mau membunuhnya lagi.Bajingan kau.. bangsat !". Sambil pisaunya akan disabetkan di leher ayahnya.

Dengan sigap ayahnya memegang tangan Sekar dan merebut pisau itu dari tangannya. Sekar berteriak-teriak memberontak, namun akhirnya pisau itu bisa diambilnya. Kini tubuh Sekar sudah berada di pelukan ayahnya dan ia tak bisa lepas. Sekar berteriak-teriak menyebut nama Tia.

"Jangan.. .jangan lukai Tia !!! Jangann……Jangann…..lukai Tia lagiii !!!”.

“Tia kamu jangan mendekat. Tetap di pintu itu !!!. Ayahku gila. Tia cepat pergi dari situ !!", teriak Sekar sambil memandang ke arah pintu. Kontan saja kedua orang tuanya pun melihat ke arah yang sama. Dan....tak ada apapun di situ.

o0o

Salah satu bangsal rumah sakit jiwa nampak bersih dan putih. Terlihat sosok Sekar duduk termangu sambil sesekali mulutnya berbicara. Ayah, Ibu dan sahabat Sekar tampak melihatnya dengan pandangan miris dari luar teralis.

" Tia. .. sekarang nggak akan lagi yang ganggu Tia. Dia takut sama Kak Sekar . Sini mendekat sama Kakak ", gumam Sekar sambil bergerak seolah memeluk sesuatu.

"Terima kasih ya, Kak. Tia nggak akan ninggalin Kakak ", ucap Tia sambil memeluk Sekar.