Saturday, February 28, 2009

sebuah cerpen anak : Jangan Nangis Lagi ya, Put....

Setiba di sekolah, sudah banyak anak yang bergerombol di TK Bahagia. Sambil masih membawa tas ransel di punggung, Ajeng dan Puput bergegas. “Put…ayo cepat sebentar lagi perlombaannya dimulai lho. Cepat taruh dulu tasmu sana !!”, seru Sabrina dari balik gerombolan teman-temannya. “Iya.”, jawab Puput.

Sementara Puput dan Ajeng meletakkan tas, Bu Dina mulai memanggil nama

murid-murid satu per satu. Setelah memberikan sedikit penjelasan tentang peraturan lomba, terdengar koor panjang dari barisan anak-anak.

“Mengerti Buuu….”.

“Baik, giliran pertama yaitu Risa, Amdan, Vira, dan Aan. Bagi anak-anak yang belum dipanggil tetap berbaris rapi dan terus memberi semangat ya ?”, jelas Bu Luluk.

“Siaapp, satu …dua….tiga…”.

Priiit….peluit panjang dibunyikan tanda anak- anak mulai berlomba membawa

kelereng. Semua anak bersorak-sorak tak terkecuali para orang tua yang menunggu anak-anaknya di balik pagar sekolah pun ikut antusias memberikan dukungan. “Ayo….ayo…ayo…”, teriak para penonton. Tak lama kemudian terdengar koor panjang. “Horeee….”, rupanya pertandingan pertama ini dimenangkan oleh Vira dan semua penonton bersorak-sorak.

Dari balik barisan murid kelas A, Puput tampak antusias melihat perlombaan. Kali ini dia ingin memenangkan perlombaan. Sementara di barisan murid TK B juga tampak Ajeng yang bersemangat bersorak-sorak memberi dukungan teman-temannya yang berlomba.

Setelah beberapa menit perlombaan berlangsung, terdengar suara Bu Dina lantang, ” Untuk perlombaan terakhir, kita beri dukungan untuk Puput, Ajeng, Sabrina, dan Odet”. Kemudian, “Ayo….ayo…ayo….”, suara penonton mulai membahana lagi lebih kencang. Ini adalah kelompok terakhir yang bertanding sekaligus penentu kelas mana yang akan memenangkan perlombaan kelereng tahun ini.

Para peserta lomba tampak serius dengan kelerengnya masing-masing. Ajeng terus menguntit di belakang Puput sambil sesekali melirik lawannya itu. Sementara, lawan-lawannya yang lain tergopoh-gopoh dan hampir jatuh kelerengnya karena terburu ingin mencapai finish. Teriakan-teriakan penonton makin keras ketika hampir mendekati garis finish.

Ya…kurang sedikit lagi mereka akan melewati garis finish. Tapi…ups, kelereng Ajeng terjatuh tertabrak tubuh Odet yang sempat limbung. “Aduhh !!”, teriaknya kaget. Cepat-cepat ia mengambil kelerengnya yang jatuh dan berdiri sambil agak sedikit mempercepat langkahnya, berharap bisa membalas Odet. Dengan tubuhnya yang masih agak limbung ia mencari kaki Odet untuk diinjak. “Nah, itu dia kaki Odet. Sebentar lagi akan kuinjak biar dia jatuh”, gumamnya. Satu, dua, tiga dan…..”Adoouuww…..”, teriakan kencang dari arah peserta lomba. Tentu saja konsentrasi peserta yang lain ikut terpecah. Mereka saling lirik melihat apakah ada lagi lawan yang kelerengnya jatuh. Namun dengan tak acuhnya Ajeng tetap melenggang sampai garis finish. Sorak sorai penonton pun mengiringi langkahnya hingga mendekati garis finish.

Tiga….dua….satu……

“Horee….Ajeng menaaanggg…..”, teriak barisan kelas B. Para penonton ikut bertepuk tangan melihat akhir perlombaan yang menegangkan ini. “Baiklah anak-anak, perlombaan kelereng hari ini usai sudah. Hasil yang diperoleh untuk perlombaan kali dimenangkan oleh kelas B. Besok masih ada perlombaan lagi”, penjelasan Bu Luluk menenangkan hati anak-anak. “Bu, sekarang boleh pulang bu?”, tanya Nanda penuh semangat. “Iya, anak-anak sekarang masuk kelas dulu, ya. Ambil tasnya masing-masing, berdoa bersama-sama kemudian pulang. Jangan lupa besok masih tetap masuk seperti biasa dan masih ada perlombaan yang lebih menarik”.

Sementara anak-anak yang lain berebut ingin pulang, di sudut taman Puput meringis-ringis sendirian sambil memegangi kakinya. Melihat hal itu Ajeng pun berlari mendekati Puput. “Put, kamu kenapa duduk di situ sendirian? Nggak pulang?”, tanya Ajeng penasaran. “Uhuk ..uhuk..huuu..huu…huu.…”, tiba-tiba Puput menangis. “Kok nangis? Puput kenapa? kakinya sakit ya?”, tanya Ajeng sambil mengusap-usap bahu Puput. “Uhuk…iya. Kakiku sakit terinjak waktu ikut lomba kelereng tadi. Kakiku sakit tapi nggak berdarah”, jawabnya sambil meringis menahan sakit. “Terinjak waktu lomba?? Memangnya kamu tah yang pakai sepatu merah tadi?”, tanya Ajeng harap-harap cemas. Sempat tergambar di benak Ajeng kalau jangan-jangan dia tadi salah menginjak kaki Puput bukannya kaki Odet. “Sepatu merah tadi yang pakai Odet kan, bukan Puput?”, tegas Ajeng sekali lagi. “Iya, sepatu merah itu aku yang pakai. Tadi aku dan Odet bertukar sepatu, soalnya aku mau mencoba sepatu baru Odet... Memangnya kenapa?”, jawab Puput yang sudah reda tangisnya. “Oh nggak apa-apa. Ayo kita pulang sekarang. Nanti kita dicari mama”, ajak Ajeng buru-buru. “Ayo”.

Sewaktu pulang sama-sama dengan Puput, perasaan Ajeng mulai tak enak. Dia merasa bersalah karena ternyata tadi dia salah menginjak kaki Puput. Sebenarnya dia ingin minta maaf, tapi rasanya malu juga kalau Puput tahu siapa yang sudah membuat kakinya sakit tadi. Duh, kalau saja tadi Ajeng tak ingin melakukan balas dendam segala, pasti dia tak akan merasa bersalah seperti ini, sesalnya dalam hati. Apalagi saat mereka harus berpisah di jalan karena Puput sudah sampai di rumahnya lebih dulu, tak seperti biasanya Puput tak memberi salam maupun senyuman pada Ajeng. Wajah Puput masih tampak cemberut dan kelihatan menahan sakit di kakinya.

Sesampainya di rumah, Ajeng tampak loyo dan tak mau makan. Tentu saja Bunda mulai bertanya-tanya, “Ada apa gerangan anak Bunda kok tiba-tiba tak mau makan dan loyo seperti ini?”. , Ajeng hanya menjawab, “Ajeng males makan, Bunda. Ajeng mau tidur saja”. Ajeng pun langsung beranjak ke tempat tidurnya dan tertidur pulas.

Entah dari mana asalnya, Ajeng bertemu dengan Puput di rumahnya. Dengan masih memakai rok seragamnya, Puput menangis merintih-rintih kesakitan. Ajeng cuma bisa terdiam melihatnya menangis. “Ajeng, kamu tahu nggak siapa yang menginjak kakiku tadi?”. “Mmm…sebenarnya…sebenarnya....yang menginjak kakimu tadi aku, Put. Maafkan aku, ya Put. Aku benar-benar menyesal. Aku nggak akan mengulangi kesalahanku lagi”, sesal Ajeng. “Iya, aku maafkan”, jawab Puput sambil memeluk Ajeng. “Terima kasih Put, tapi kamu jangan menangis lagi ya, Put. Aku sedih lihat kamu menangis. Huuu…huu…huu…..”, tangis Ajeng makin kencang.

Kemudian, terdengar suara Bunda bergumam pelan, “Jeng… Ajeng… bangun... kenapa menangis? Ajeng….”. Mata Ajeng pun pelan-pelan terbuka, sambil sesekali mencari-cari Puput. Tapi, sekarang ia tak lagi sedang bersama Puput karena yang terlihat di sekelilingnya hanyalah kamarnya yang bercat putih dan Bunda yang sedang kebingungan menenangkan tangis Ajeng. Ohhh…ternyata Ajeng tadi cuma mimpi.

Meski hanya sekedar mimpi, tapi cukup melegakan hati Ajeng. Ajeng yakin Puput pasti mau memafkannya jika ia minta maaf daripada dia terus berbohong. Ia berjanji tak akan berbuat curang lagi. Besok pagi-pagi Ajeng akan minta maaf jika bertemu dengan Puput dan mengakui kesalahannya. Oh iya, tak lupa ia juga akan membagi hadiah kemenangannya dengan Puput sebagai tanda bahwa dia sayang pada temannya itu. “Jadi, nggak sabar rasanya menunggu waktu bertemu dengan Puput besok pagi”, gumamnya lirih.