Seorang penulis yang mencoba menawarkan gagasannya adalah seorang intelektual. Tak peduli lulusan apa saja asalkan telah menghasilkan gagasan yang berguna bagi masyarakatnya, sesungguhnya seorang intelektual. Ia bisa seorang guru, pedagang, petani atau apapun pekerjaaanya. Karena intelektual bukan pekerjaan, tapi fungsi dalam masyarakat.
Menjadi intelektual bukan berarti bekerja menjadi penulis. Tapi bila seorang penulis dapat berfungsi memberikan gagasan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak, maka ia digolongkan sebagai intelektual. Dan Rasulullah menyebutnya dengan kalimat " penulis yang selalu memberi penawar ". Itulah intelektual.
Menghubungkan intelektual dengan pernikahan seakan-akan tindakan yang mengada-ada. Hal ini bukan hanya karena pada realitasnya banyak orang yang tidak menikah dan tetap mampu menghasilkan karya besar.Namun juga karena kesadaran kita memberikan jarak yang jauh antara makna intelektual dan pernikahan.
Padahal dalam banyak ayat Al Quran , pernikahan sering dihubungkan dengn perintah berbuat adil yang berakar dari kata al-'adl. Yang berarti dalam pernikahan terdapat perintah untuk menegakkan keadilan dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara (sitematik).Pandangan ini nampaknya kurang dimengerti oleh banyak kalangan kita.
Menurut Prof. Tahir Mehmood (1984), pernikahan dalam Islam dibangun sebagai suatu perjanjian suci, yaitu antra sakral dan kontrak. Ini yang sering kurang mendapat apresiasi memadai di kalangan kita. Dalam kenyataan kebanyakan mayarakat sekarang--sadar atau tidak--pernikahan ditempatkan dalam bentuk yang mirip dengan pandangan kaum jahiliyah.
Menurut Ashgar Ali Engineer (2000), pernikahan pada masa jahiliyyah hanya sekedar perjanjian kontrak tanpa nilai sakral. Pernikahan bak jual beli barang saja. Sehingga wajarlah bila sekarang ini keberadaan keluarga hasil perkawinan mudah sekali diterpa oleh kasus prselingkuhan dan seks bebas.
Bagi intelektual, pernikahan memberi inspirasi untuk menikahkan ilmu dan amal, eksperimentasi praktis dan teoritis, serta induksi dan deduksi. Sebagaimana menikahkan kekuatan jamaliyah pda perempuan dan kekuatan jalaliyah pada laki-laki. Dan itu tidak sama antara pertemuan tesa dan anitesa menghasilkan sintesa sebagaimana logika cartesian yang banyak dikritik Frijchof Capra. Namun pernikahan tersebut merupakan kesatuan yang bernama kekuatan kamaliyah dan pelakunya adalah insan kamil.
Karena itu intelektual yang memahami konsep pernikahan, tak sekedar memproduk gagasan lewat mulutnya aja, karena tanpa mengamalkannya adalah merupakan maturbasi intelektual. Padahal dalam Islam yang diajarkan adalah menikah, bukan masturbasi.
Sebaliknya orang yang menikah perlu memahami bahwa ia memiliki derajat intelektual. Dengan demikian mereka yang sudah menikah seharunya menjadi insan kamil, bukan sekedar insan hamil. Berbagai pernikahan tanpa tujuan kenabian (profetis) hanya akan menghasilkan persetubuhan yang berujung pada kelelahan fiik dan mental.
Dan salah satu arti hidup bagi seorang muslim, adalah pencarian ilmu yng bermanfaat. Rasulullah memberi 3 pilihan bagi yang menikah untuk kesuksesan hidupnya. Yang menjadi pemimpin untuk bisa melakukan gerakan-gerakan sosial. Atau menjadi intelektual dengan menelurkan gagasan-gagasan yng bermanfaat. Atau menghasilkan tokoh besar dari hasil perkawinannya.
Pernikahan seperti itu akan mampu menghasilkan persenyawaan. sehingga dapat membangun cara pandang baru bagi kedua mempelai. Dalam bahasa lain, rumah merupakan tempat memasak (mengendapkan pengalaman ) cara pandang suami istri.
Sehingga jika masakan itu jadi, maka perkawinan akan membuahkan cara pandang baru bagi lingkungan rumah tangga mempelai.sebagaimana perintah Nabi untuk memberikan hidangan pada seluruh tetangga yang telah membaui masakannya . jadilah kedua mempelai sebagai da'i bagi tetangga mereka. Juga masyarakat dan negara mereka.
* disadur dari buku ' Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama , pesan-pesan Rasulullah SAW
menuju pernikahan barokah '
karangan Ashd Kusuma Djaya
penerbit : Kreasi Wacana
Wednesday, January 18, 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)