Kulihat wanita bertubuh sintal itu tengah tergolek lemah di atas seprai putih. Bau khas obat-obatan membuat kepalaku makin berdenyut-denyut. Hampir 8 jam aku menemani wanita berparas ayu itu berjuang menantikan kehadiran buah hati pertamanya. Tak ada mimik kesakitan lagi yang kulihat di wajahnya. Bahkan butir-butir keringat yang menempel di dahinya seperti kerlip mutiara baginya. Hanya kedua matanya saja yang masih terlihat sembab sehabis persalinannya tadi.
Ini cucu pertama bagi ibu mertuaku. Aku tahu betapa ia sangat gembira dengan datangnya cucu pertama ini. Meski cucu itu bukan dari Mas Arman—suamiku—sebagai anak pertama di keluarga besarnya. Semenjak seharian tadi ibu mertuaku memang tak lelah untuk menunggui wanita itu. Mulai sejak kontraksi hebat dan harus dibawa ke rumah sakit, sampai menemani detik-detik hadirnya sang jabang bayi. Dan kini, ia sedang berada di sisi Ella, begitulah nama adik iparku itu.
Sementara aku hanya melihatnya dari kejauhan. Aku agak lelah karena seharian tadi harus turut bergantian dengan ibu menemani Ella. Tak tega rasanya kalau sampai meninggalkan ia merintih-rintih sendirian. Apalagi ini pengalaman pertama baginya. Mas Arman duduk di sebelahku sambil memberiku ruang untuk merebahkan kepalaku di pundaknya. Kami berdua hanya terdiam sambil mengamati Ella yang kini sudah mulai bisa berkomunikasi dengan ibu.
“ Dek, kamu kenapa diam saja ? “, tanya Mas Arman lembut di telingaku
“ Mmm…nggak apa-apa Mas. Aku cuma sedang kelelahan saja “, jawabku singkat
“ Tapi biasanya kamu yang paling ceria lho kalau ada moment-moment seperti ini.Apa yang sedang
kamu pikirkan, Cah Ayu ?”, rayunya sambil memanggilku dengan panggilan kesayangannya.
“ Hmm…nggak ada yang aku pikirkan “, sambil aku agak merenggangkan sandaranku padanya.
“ Ya sudah kalau gitu. Sini bersandar lagi sama aku biar lelahnya sedikit berkurang “.
“ Nggak deh Mas. Kayaknya capeknya udah ilang kok. Aku ijin keluar sebentar ya ?! “, tolakku sambil berlalu pergi.
Kutelusuri lorong rumah sakit itu sambil menahan air mata yang sudah mengambang di pelupuk mataku. Entah apa yang sedang aku rasakan kini. Rasanya aku ingin sesegera mungkin menyingkir dari tempat ini dan menenangkan diriku sejenak. Ketika hampir mencapai pintu gerbang rumah sakit cepat-cepat kulangkahkan kakiku ke arah halaman karena bendungan air mataku hampir saja jebol. Untunglah kulihat sebuah bangku kosong yang nampak cukup nyaman untukku. Dengan sekali tarikan nafas panjang aku pun menangis tersedu-sedu di sudut halaman itu. Rasanya meluber segala yang mengganjal di hatiku. Ujung bajuku hampir bisa diperas karenanya.
Setelah hampir 1 jam aku menumpahkan segala yang aku rasakan, aku pun mulai bisa menghela nafas dan sedikit lebih tenang. Tarikan nafasku pun lebih teratur. Aku sedih Rabb…, rintihku pelan. Di tengah kegembiraan yang melanda keluarga kami ini, terselip perih di hatiku. Aku ingat tentang aku dan Mas Arman yang sampai kini belum dikaruniai seorang anak.
Pernikahanku dengan Mas Arman memang baru berjalan beberapa bulan. Memang awalnya aku dan suamiku tak mempersoalkan masalah anak, tapi walau bagaimanapun aku sebagai seorang wanita sejak awal akan merasa kurang sempurna ketika belum memberinya seorang keturunan. Bahkan kalau sampai keduluan adiknya seperti ini. Dulu perkawinan kami memang sempat tak direstui kedua orang tuaku. Mereka beralasan kalau calon suamiku harus memenuhi kriteria pangkat dan jabatan yang tinggi. Itulah yang membuat kami sempat maju mundur dalam melanjutkan rencana pernikahan kami. Hingga akhirnya Mas Arman harus mengalah untuk memberi kesempatan pada adiknya melangsungkan pernikahan terlebih dahulu. Perasaanku waktu itu sontak begitu iri dan cemburu. Namun belakangan baru diketahui bahwa pernikahan itu dilakukan untuk mempertanggung jawabkan kehamilan Ella yang sudah memasuki usia 5 bulan.
Hhhmm…..aku menangis kalut waktu itu.
Ia masih terlampau muda untuk mendapatkan tanggung jawab sebesar itu. Di usianya yang masih 3 tahun di bawahku itu, ia tampak begitu lugu. Dan cantik . Namun kehamilan yang tak diduga itu tak membuat keluarga suamiku berubah. Bahkan mereka begitu welcome dengan kehadirannya. Tak seperti di keluarga-keluarga lain yang biasanya begitu shock dan tampak tidak ramah, mereka malah sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri. Cantik, lugu, disayangi seluruh keluarga, dan kehamilan yang malah ditunggu-tunggu membuatku cemburu padanya. Diam-diam aku sering memperhatikan wajahnya yang masih imut itu, rambutnya yang hitam lurus sebahu, matanya yang lentik, bibir yang mungil dan tubuh yang sintal serta tinggi semampai. Wiihh….lelaki mana yang nggak akan berdecak kagum melihatnya ?!.
Betapa aku ingin sekali menutupi mata calon suamiku agar tak melihat padanya. Meski ia adik iparnya sendiri, tapi namanya ketertarikan tak akan pandang bulu. Apalagi ia masih tinggal serumah dengan keluarga besar ibu mertuaku saat itu. Mas Arman waktu itu pernah bilang padaku, “ Wanita yang pertama kali hamil pasti akan terlihat cantik !”. Kuakui kehamilan Ella membuatnya semakin terlihat cantik , namun kali ini pengakuan Mas Arman semakin menguatkan keyakinanku bahwa ia sering memperhatikan Ella. Duh…Gusti perih rasanya hatiku.
Sementara menunggu restu dari kedua orang tuaku sendiri juga sangat melelahkan buat aku dan Mas Arman. Ketika kami tak tahu hal apa saja yang belum kami lakukan atau juga hal-hal yang sekiranya memicu keterlambatan turunnya “Surat Keputusan Nikah” dari mereka , kami mulai mencoba menerka-nerka dan berspekulasi tanpa ada fokusnya. Dan waktu itu aku sempat iba melihat calon suamiku yang usianya sudah terpaut jauh diatasku. Betapa usianya sudah tak muda lagi. Naluri kebapakannya pun juga sudah mulai terbentuk. Aku bisa melihat dari perilakunya bahwa ia sudah begitu merindukan teman ‘seperjalanan’ dalam hidupnya yaitu istri dan anak-anak. Tapi aku pun juga tak bisa berbuat apa-apa, meski mereka adalah orang tuaku.
Mendekati usia 8 bulan kandungan Ella, orang tuaku mulai membuka diri dan dengan pendekatan secara halus, aku dan Mas Arman mendapat restu dari kedua orang tuaku. Akad nikah yang sederhana dan hanya dihadiri oleh beberapa kerabat keluarga, tetangga dan teman-teman kami membuatku tak dapat menahan haru. Seolah tak sia-sia peluh kesabaranku dalam menghadapi perjuangan ini. Subhanallah ….. aku akhirnya mampu menyempurnakan ibadahku.
Menginjak bulan ke 2 pernikahanku, kandungan Ella yang semakin besar mendekati masa persalinan. Dan itu terjadi hari ini. Ketika aku menyempatkan mengunjungi ibu mertuaku. Awalnya Ella masih terlihat baik-baik saja, bahkan sempat ngobrol-ngobrol denganku. Namun, beberapa menit kemudian ia terlihat merintih-rintih kesakitan. Rupanya rahimnya berkontraksi hebat. Untunglah ada suamiku dan beberapa saudara laki-laki lainnya yang akhirnya mengantarkannya ke rumah sakit terdekat. Sementara suaminya sendiri , sejak semalaman belum pulang. Dan baru diketahui kalau ia sedang begadang bersama kawan-kawannya ketika salah satu pamannya mencari-carinya di tempat tongkrongannya. Fiiuuhh….aku hanya dapat mengelus dada melihat kelakuan adikku iparku ini.
Yah, mau gimana lagi kehamilan yang tidak diharapkan memang sering menimbulkan dampak psikologis keengganan pada orang tua si bayi. Sesuatu yang munculnya tak terduga dan tak direncanakan. Bahkan ceritanya waktu itu Ayah si jabang bayi sempat ingin menggugurkan anak yang sudah 3 bulan dikandung ibunya. Untungnya tidak terjadi hal-hal yang mengkhawatirkan selama masa kehamilan.
Selama menunggu masa persalinan, aku dan ibu mertuaku bergantian menjaga Ella. Dan sesekali suaminya juga ikut menungguinya, meski dengan muka yang begitu terpaksa. Kadang ketika ibu atau suaminya yang menjaga, aku menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Mas Arman yang menunggu di luar. Berada di dekat Mas Arman membuatku bisa lebih tenang dan memiliki keberanian lebih untuk menemani Ella. Maklumlah , seumur hidup baru kali ini aku melihat proses persalinan secara langsung.
Dan Mas Arman adalah teman pengendali emosiku yang paling baik. Sosok pelindung dan penyayangnya membuatku tak pernah bosan ketika berlama-lama dengannya.
Hingga akhirnya 8 jam kemudian, Ella dengan sekuat tenaga melahirkan seorang anak. Ia dan bayinya selamat. Dan bayi perempuan mungil yang sedang digendong suster waktu itu membuatku menangis terharu di bahu Mas Arman. Maha Besar Ia yang menciptakan makhluk yang begitu indah dan cantik. Setelah bayinya selesai dimandikan oleh suster, Mas Arman-lah orang pertama yang menggendong bayi mungil itu. Dan ia pula yang meng-adzani di telinga kanan si bayi.
Seketika itu juga, perasaan cemburuku spontan meluap hingga ke ujung kepalaku. Mengapa mesti Mas Arman yang meng-adzani dia ? Mengapa bukan suaminya ?!, jerit hatiku waktu itu. Aku ingin Mas Arman mengalami masa pertama kali kagum dan takjub adalah pada bayi kami berdua. Dan ia pertama kali dalam hidupnya mengadzani bayi mungil dan itu juga bayi kami berdua. Bukan bayi adiknya, atau orang lain manapun. Namun kulihat pancaran kegembiraan tak terhingga di matanya, dan aku semakin tenggelam dalam kesedihanku. Ia sempat mengiming-imingi aku, dan aku merasa muak karenanya. Aku sebagai wanita juga memiliki keinginan untuk memiliki keturunan dan melakukan perjuangan itu tapi kini aku masih belum dikaruniaiNya. Dan ini membuatku cemburu lagi.
Ahhh…Rabbi, maafkan aku jika akhirnya aku iri. Ampuni aku jika akhirnya aku cemburu. Sungguh anugerahMu padanya membuatku ingin merasakan hal yang sama. Bahkan kadang pikiran busukku tiba-tiba menelusup dan berbisik, aku sering merasa bahwa aku dan Ella pernah sama-sama melakukan suatu dosa, tapi ia seolah mendapat anugerah yang tiada tara. Pernikahan yang istimewa, Keluarga yang menyayanginya, kehamilan yang ditunggu banyak orang, kelahiran anak perempuan yang menyita perhatian banyak orang dan pesona kecantikan yang tak pernah terelakkan oleh siapapun. Dan aku iri.
Namun, setelah aku pikir-pikir, aku cukup jahat juga rupanya. Seharusnya aku mampu melihat sisi terangnya yang lain. Bahwa ini menjadi salah satu anugerah untuknya karena ia pernah mengalami masa ‘keruwetan’ dalam keluarganya. Tak ada kasih sayang seorang ibu yang pernah benar-benar menelusup di kalbunya. Sebab perselingkuhan ibunya dengan laki-laki lain membuat hidup keluarganya berantakan. Dan semua ini akan menjadi hadiah terindah dari Allah untuknya.
Hatiku mulai semakin tenang meski aku tetap cemburu pada indahnya anugerah yang diberikan padanya. Dan masih tak dapat menerima Mas Arman yang mengadzani seorang bayi untuk pertama kalinya pada bayi Ella. Tapi aku cukup bisa menguasai emosiku. Kupejamkan kedua mataku, kuhirup nafas dalam-dalam dan kuhembuskan udara perlahan-lahan. Tiba-tiba dari belakang sebuah sentuhan halus menyentuh pundakku. Refleks kutolehkan pandanganku dan kulihat senyum Mas Arman mengembang untukku. Sengaja kemudian ia duduk di sampingku dan membiarkan kepalaku bersandar di dadanya.
Friday, February 03, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment